Penjual di TikTok Shop hingga Shopee Cs Bakal Dipungut Pajak, Plus Minusnya?
Rencana aturan baru ini memang bukan tanpa alasan. Lantaran hal itu sebagai langkah strategis untuk mendongkrak penerimaan negara dan menciptakan kesetaraan perlakuan antara toko daring (online) atau e-commerce dan toko fisik (offline).
Adapun industri e-commerce juga alami lonjakan pertumbuhan signifikan. Berdasarkan laporan dari Google, Temasek dan Bain & Co prediksi nilai transaksi bruto (GMV) sektor ini tembus USD 65 miliar pada 2024. Transaksi GMV itu dapat melambung dua kali lipat menjadi USD 150 miliar pada 2030.
Di sisi lain, pemerintah berdasarkan data Kementerian Keuangan, penerimaan negara pada periode Januari–Mei 2025 turun 11,4% dibandingkan tahun sebelumnya, menjadi Rp995,3 triliun. Penurunan ini dipengaruhi oleh harga komoditas yang melemah, perlambatan pertumbuhan ekonomi, dan gangguan sistem administrasi perpajakan.
Sementara itu, pemerintah membidik pendapatan negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBN) 2025 sebesar Rp 3.005,1 triliun.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Rosmauli menuturkan, rencana ini bukan pengenaan pajak baru.
Ketentuan ini pada dasarnya mengatur pergeseran (shifting) dari mekanisme pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) secara mandiri oleh pedagang online, menjadi sistem pemungutan PPh Pasal 22 yang dilakukan oleh marketplace sebagai pihak yang ditunjuk.
“Perlu dipahami bahwa pada prinsipnya, pajak penghasilan dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak. Termasuk dari hasil penjualan barang dan jasa secara online,” ujar dia dalam siaran pers resmi DJP Kemenkeu, Kamis (26/6/2025).
Rosmauli menuturkan, kebijakan ini tidak mengubah prinsip dasar terkait pengenaan PPh final 0,5 persen, untuk UMKM dengan peredaran bruto pajak maksimal Rp 4,8 miliar. Ia mengklaim, aturan ini memberikan kemudahan bagi pedagang dalam memenuhi kewajiban perpajakan.
“Karena proses pembayaran pajak dilakukan melalui sistem pemungutan yang lebih sederhana dan terintegrasi dengan platform tempat mereka berjualan,” kata dia.
Ia mengatakan, tujuan utama ketentuan baru mengenai penarikan pajak untuk menciptakan keadilan dan kemudahan. “Mekanisme ini dirancang untuk memberikan kemudahan administrasi, meningkatkan kepatuhan, dan memastikan perlakuan pajak yang setara antarpelaku usaha, tanpa menambah beban dan menciptakan jenis pajak baru,” kata Rosmauli.
Tutup Celah Shadow Economy
Ketentuan ini juga bertujuan memperkuat pengawasan dan menutup celah aktivitas ekonomi yang tidak tercatat dan terlaporkan (shadow economy). Khususnya dari pedagang online yang belum menjalankan kewajiban perpajakan baik, lantaran kurangnya pemahaman maupun keengganan menghadapi proses administratif yang dianggap rumit.
“Dengan melibatkan marketplace sebagai pihak pemungut, diharapkan pemungutan PPh Pasal 22 ini dapat mendorong kepatuhan yang proporsional, serta memastikan bahwa kontribusi perpajakan mencerminkan kapasitas usaha secara nyata,” ujar Rosmauli.
Sementara itu, Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso menuturkan, pengenaan pajak e-commerce ini merupakan wacana lama yang hendak dieksekusi oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan. Ia tidak menampik keterlibatan Kementerian Perdagangan (Kemendag) dalam fase awal perancangan bakal aturan itu.
“Awal-awal, prosesnya itu lama. Proses pembahasannya sudah beberapa kali,” kata dia di kantor, Kamis (26/6/2025).
Akan tetapi, Budi menyerahkan aturan itu kepada Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Saat ditanya apakah aturan tersebut bakal berdampak terhadap perdagangan e-commerce, ia tak banyak menjawab.
“Coba nanti kita lihat,” kata Mendag singkat.